Jumat, 09 Juli 2021

Pagi ini setelah selesai mandi, seperti biasa kuusapkan bedak secara asal pada wajahku dengan blush on yang sembarangan pula. Warna lipstik menyala pun sengaja jadi pilihanku untuk mendapatkan perhatian dari banyak orang. Entah sudah hari keberapa aku melakukan aksi ini. 

Berjalan dengan suka-suka hati tanpa peduli pada rambu lalu lintas yang ada. "Woy! Minggir! Mau mati lu, ya?" bentak pengendara sepeda motor yang melihatku berjalan berlenggak lenggok bak model papan penggilasan. "Apa? Kamu sudah gila, ya?" kataku menanggapi si sumber suara. Drama yang biasa aku mainkan saat berada di tengah jalan.

 "Wah, orang sedeng nih! Minggir! Mau ditabrak kali, ya!" Sebenarnya dalam hati, aku merasa sedih. Mengapa aku harus memainkan peran sebagai orang gila yang padahal tidak gila. 

Aku normal. Sama seperti orang lain yang tinggal di sekitarku. Untuk apa aku berbuat demikian? Untuk mengisi perutku. Tiga kali sehari aku bisa makan dengan berpura-pura menjadi orang gila. 

Semenjak ditinggal oleh orangtuaku ke alam baka, aku sendirian. Tak ada saudara sama sekali yang peduli dengan kelanjutan hidupku. Uang dari sumbangan orang yang datang melayat almarhum orangtuaku, sudah habis. Sudah pernah aku mencari kerja, tapi ijazah SD saja aku tak punya. Boro-boro bisa dapat kerja. 

Pernah sekali aku melamar menjadi asisten rumah tangga, di hari ketiga bekerja, suami dari majikanku hendak menggauliku. Spontan, malam itu aku berteriak dan mengagetkan seisi rumah. Bukannya dibela, aku justru dipecat secara tidak terhormat. Gaji? Boro-boro! Bisa keluar dari sana saja dengan selamat, aku sudah bersyukur. Sang predator justru berusaha memfitnahku dengan mengatakan bahwa aku yang menggodanya lebih dulu. Padahal, demi Tuhan, aku berani bersumpah.

 Aku masih tahu etika. Bagaimanapun dia adalah majikanku. Sampai suatu hari, aku melamar jadi tukang cuci piring di warung bakso, bukannya diterima malah aku justru jadi bahan cibiran mereka yang ada di sana. "Mbak ini ... bukannya yang kemarin katanya kerja di Bu Sofie, ya?" tanya salah seorang pelanggan yang sedang makan bakso di tempat aku hendak melamar. "Iya, Mbak," jawabku. Karena memang benar, aku lah orang yang kemarin bekerja di rumah Bu Sofie, mantan majikanku.

 "Owalah, sampeyan toh yang menggoda suaminya Bu Sofie! Emangnya sampeyan nggak laku, ya? Segala mau nyomot suami majikan!" Astaghfirullah ... aku mengelus dada dan berkata dalam hati, "Dosa apakah aku sehingga mereka bebas menggiring opini tentangku? Sedang mereka sendiri tidak tahu kenyataan di balik cerita Bu Sofie dan keluarganya." Pemilik warung bakso bukannya membelaku, ia justru menyalahkan aku kenapa harus bersikap seperti itu. Katanya, orangtuaku adalah orang yang disegani di kampung ini. Mereka rajin ke pengajian, tidak seperti aku. "Wiji ... mbok yaa kalau udah ditinggal sama orangtua itu harusnya belajar mandiri dan bersikap yang baik. Kasihan orangtua kamu!" "Tapi, Pakde ...." "Sudahlah, saya belum bisa terima kamu di sini. Saya tidak mau ikut-ikutan dicap buruk oleh pelanggan saya. Lebih baik kamu cari kerja yang lain saja," ucap Pakde Narto. Ingin rasanya aku menangis, melihat puluhan pasang mata melihat ke arahku. Mereka seolah ingin ikut mengadili aku. Apa yang salah dariku? Semua orang menganggapku sosok yang hina. Sementara keadilan itu bukan menjadi bagianku! .. "Bagi duit!" teriakku pada pengendara motor saat di trotoar lampu merah. 

Aku menengadahkan tangan ke arahnya. "Maaf," jawab orang tersebut dengan membentuk sebuah tanda dengan jarinya. "Pelit, lu!" celetukku dengan mengacak-acak rambut lalu berlalu ke pengendara lainnya. Tak jarang terjadi penolakan, jika begitu, aku akan berusaha untuk mengoceh di depan pengendara tersebut dengan mulut komat-kamit layaknya orang tidak normal. Begitu gayaku, mempermalukan diri di hadapan orang hanya untuk mendapat uang. Terakhir kali, aku mengambil secara paksa makanan di warung. Misalnya, kemarin siang, saking laparnya aku mengambil dua bungkus roti goreng di warung depan pasar. Mereka yang sudah memberiku label 'orang gila' sudah pasti akan membiarkan aku mengambil dagangan mereka. Pernah suatu hari mereka melawanku, dengan sigap aku mengacak-acak dagangan si pemilik warung sambil berteriak dan bernyanyi. 

Bukan lautan hanya kolam susu Kail dan jalan cukup menghidupimu Tiada badai tiada topan kau temui Ikan dan udang menghampiri dirimu Bukan lautan hanya kolam susu Kail dan jala cukup menghidupimu Tiada badai tiada topan kau temui Ikan dan udang menghampiri dirimu Orang bilang tanah kita tanah surga Tongkat kayu dan batu jadi tanaman Orang bilang tanah kita tanah surga Tongkat kayu dan batu jadi tanaman.

Begitulah kegiatanku sehari-hari. Menjadi orang yang tak waras, hanya demi sesuap nasi. Apalagi di masa pandemi begini, bukannya dapat bantuan sosial, malah keributan yang kutemui. Maaf ... aku terpaksa menjadi aktor dari sebuah film yang kuciptakan sendiri. Entah sampai kapan aku harus menjalani hidup yang seperti ini.

0 comments:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.